Dalam sepuluh hari terakhir ini, kaum muslimin dianjurkan (disunnahkan)
untuk melakukan i’tikaf. Sebagaimana Abu Hurairah mengatakan bahwa
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada setiap
Ramadhan selama 10 hari dan pada akhir hayat, beliau melakukan i’tikaf
selama 20 hari. (HR. Bukhari).
Dalam tulisan singkat ini,
kami akan membahas i'tikafnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
apakah i'tikaf boleh di masjid mana saja, dan seputar hukum i'tikaf
lainnya.
Apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab lisanul
arab, i’tikaf bermaknamerutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang
yang mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan
ibadah di dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun.
(Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/150)
Dan paling utama adalah
beri’tikaf pada hari terakhir di bulan Ramadhan. Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
beri’tikaf pada 10 hari terakhir di bulan Ramadhan sampai Allah ‘azza
wa jalla mewafatkan beliau. (HR. Bukhari & Muslim) Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga pernah beri’tikaf di 10 hari terakhir dari
bulan Syawal sebagai qadha’ karena tidak beri’tikaf di bulan
Ramadhan. (HR. Bukhari & Muslim)
I’tikaf
Harus di Masjid dan Boleh di Masjid Mana Saja
I’tikaf
disyari’atkan dilaksanakan di masjid berdasarkan firman Allah Ta’ala,
وَلَا
تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”(QS.
Al Baqarah [2] : 187)
Demikian juga dikarenakan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam begitu juga istri-istri beliau melakukannya di
masjid, dan tidak pernah di rumah sama sekali. Menurut mayoritas ulama,
i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah di
atas (yang artinya) “Sedang kamu beri'tikaf dalam masjid”. Adapun
hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan,”Tidak ada
i’tikaf kecuali pada tiga masjid”, hadits ini masih dipersilisihkan
apakah statusnya marfu’ atau mauquf. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah II/151)
Wanita juga boleh
beri’tikaf
Dibolehkan bagi wanita untuk melakukan i’tikaf
sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan
istri tercinta beliau untuk beri’tikaf. (HR. Bukhari & Muslim) Namun
wanita boleh beri’tikaf di sini harus memenuhi 2 syarat : [1] Diizinkan
oleh suami dan [2] Tidak menimbulkan fitnah (masalah bagi laki-laki).
(Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/151-152)
Waktu
Minimal Lamanya I’tikaf
I’tikaf tidak disyaratkan dengan
puasa. Karena Umar pernah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,”Ya Rasulullah, aku dulu pernah bernazar di masa
jahiliyah untuk beri’tikaf semalam di Masjidil Haram?” Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan,”Tunaikan nadzarmu.”
Kemudian Umar beri’tikaf semalam. (HR. Bukhari dan Muslim). Dan jika
beri’tikaf pada malam hari, tentu tidak puasa. Jadi puasa bukanlah
syarat untuk i’tikaf. Maka dari hadits ini boleh bagi seseorang
beri’tikaf hanya semalam, wallahu a’lam.
Yang
Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan
i’tikaf adalah : [1] Keluar dari masjid tanpa alasan syar’i atau tanpa
ada kebutuhan yang mubah yang mendesak (misalnya untuk mencari makan,
mandi junub , yang hanya bisa dilakukan di luar masjid), [2] Jima’
(bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al Baqarah : 187 di atas.
(Lihat Shohih Fiqh Sunnah II/155-156)
Perbanyaklah dan
sibukkanlah diri dengan melakukan ketaatan tatkala beri’tikaf seperti
berdo’a, dzikir, dan membaca Al Qur’an. Semoga Allah memudahkan kita
untuk mengisi hari-hari kita di bulan Ramadhan dengan amalan sholih yang
ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala
alihi wa shohbihi wa sallam.
Sumber rujukan : Shohih Fiqh
Sunnah, jilid kedua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar